PENYAKIT DIFTERI
MAKALAH
Diajukan
untuk memeuhi tugas mata kuliah Dasar Biomedik yang diampu oleh Tayong Siti
Nurbaeti., SKM.,M..Gizi
Oleh
:
Aas
Asprianah
Aci
Suherningsi
Nabila
Gita.R
Sanuri
Siti
Danuaji
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah tentang”
Penyakit Difteri ”.
Selaku penulis berharap semoga
kelak makalah ini dapat berguna dan juga bermanfaat serta menambah wawasan
tentang pengetahuan kita semua tentang Penyakit difteri . Dalam pembuatan
makalah ini kami sangat menyadari masih sangat banyak terdapat kekurangan di
sana sini dan masih butuh saran untuk perbaikannya. Oleh karena itu kami sangat
berterima kasih jika ada yang sudi memberi saran dan kritiknya demi perbaikan
makalah ini.
Semoga makalah yang sederhana bisa dengan mudah di mengerti dan dapat di pahami maknanya. Kami minta maaf bila ada kesalahan kata dalam penulisan makalah ini, serta bila ada kalimat yang kurang berkenan di hati pembaca.
Indaramayu, 24 desember 2016
penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar................................................................................................... i
Daftar
Isi............................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................. 2
1.3 Tujuan............................................................................................... 2
1.4 Manfaat
............................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Definisi penyakit difteri...................................................................... 3
2.3
Cara penularan dari penyakit difteri ................................................. 5
2.4
Patofisiologis ..................................................................................... 7
2.5
Epidemiologis..................................................................................... 9
2.6
Diagnosis............................................................................................ 9
2.7
Patogenesis……………………………………………………………..11
2.8
Komplikasi……………………………………………………………..13
2.9
Pencegahan dan pengobatan……………………………………………13
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan....................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan
salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu
kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring
(bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri
dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu
penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium
diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana
temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya menyerang
anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri
umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat
berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak –
anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak,
Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada
anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan
salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum
era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit
yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk
penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria,
Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi
difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar
tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan
ini.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas
Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3
orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan
kasus dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012
sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bakteri
apa yang menyebabkan penyakit difteri?
2. Bagaimana
tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit difteri?
3. Berapa
lama masa inkubasi penyakit difteri?
4. Bagaimana
cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
penyebab penyakit Difteri
2. Mengetahui
tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit difteri
3. Mengetahui
masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui
cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
1.4 Manfaat
Dapat
mempelajari dan mengetahui tentang penyakit difteri
Dapat
menambah pengetahuan pembaca tentang penyakit difteri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu
penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang
dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun
pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung
biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (kolonisasi) merupakan kasus terbanyak.
Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul
satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain,
bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit
difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu: type mitis,
typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium
diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif, ditandai
dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3
biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat
dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi,
atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan
mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk
menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh
bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Corynebacterium
diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya
termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium
diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Morfologi Corynebacterium
diphtheria
- Gram
(+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua
ujung badan bacteri.
- Pada
pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda
sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
- Preparat
yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya
bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang
jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel /
palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Corynebacteria
berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak berspora, tidak
bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal
diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan
Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada
perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis
dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C.
diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan
pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri
ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang
menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat
ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai
dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan
batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang
diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang
berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang
disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis
: agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling
besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit,
pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada
Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis
: koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip seperti
karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni padaMcleod’s
chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius
: koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam.
batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang &
gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu
akan membentuk endapan.
Ketiga tipe diatas
sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan
metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat
dikaitkandengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik
kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis
memiliki w
Waktu generasi (in
vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari
sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.
Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat
pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Klasifikasi
Gambar Bakteri Corynebacterium
diphtheria
|
Kerajaan :
|
|
|
Filum :
|
|
|
Ordo :
|
|
|
Famili :
|
|
|
Genus :
|
|
|
Spesies :
|
C. diphtheria
|
2.3 Cara Penularan
Sumber penularan
penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai
carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau
droplet infection.
Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa
inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khas dari penyakit ini ialah
pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang
sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih
keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di
bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan
miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri
fauncial dan faringeal (Depkes,2007).
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi
ringan
bila pseudo membran hanya terdapat
pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
b. Infeksi
sedang
bila pseudomembran telah menyerang sampai
faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
c. Infeksi
berat
bila terjadi sumbatan nafas yang berat
disertai dengan gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung)
paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga
dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien:
a.
Difteri hidung
(nasal diphtheria) bila penderita
menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 %
dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan
merupakan sumber utama penularan.
b.
Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil
dengan gejala radang
akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang
cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada
difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan
kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c.
Difteri laring (laryngo
trachealdiphtheriae)
dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak,
nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal
nafas.
d.
Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal
dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada
kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti
sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak
terasa apa apa.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi difteri
adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah
untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1. Anterior
nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit
ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2. Pharyngeal
dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi
jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka
waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai
terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati.
3. Difteri
laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri
kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina,
serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi
difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan
perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis
difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan
dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal,
sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik.
Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma
dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk
otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama
pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas
kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap
Inkubasi
Kuman difteri masuk ke
hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian
atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri
berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit
difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam,
dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium
karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap
Penyakit Dini
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu
keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap
Penyakit lanjut
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa
terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan
bernafas.
Corynebacterium
diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang
memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada
jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil
toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri
berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan timbulnya
kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan
dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan
yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan
pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.
Warna dari membran
difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini
sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran
terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh,
dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya
disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui
aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme
seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang
disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin
lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang
terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin
menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration,
oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium,
peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan
lekosit.
Kerusakan oleh toxin
pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan
saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat
menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang
belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa
setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu
dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi,
kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2
dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran
anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1
akan menderita penyakit polio.
2. Place
(Tempat)
Penyakit ini juga
dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan
kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time
(Waktu)
Penyakit difteri dapat
menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah
masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka
pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit
penyakit difteri.
2.6 Diagnosis
Pada penyakit difteri
ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberianantitoksin sangat
mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala
klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi
penyakit Difteri boleh meliputi:
a. Gram
Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium
diphtheriae.
b. Untuk
melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat
di lakuka denganElectrocardiogram (ECG).
Pengambilan smear dari
membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya.
Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick
Test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini
adalah :
1. panas
lebih dari 38°C
2. Ada psedo
membrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit
waktu menelan
4. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.
Tergantung pada
berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin
diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)
Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan
penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit
diphtheria.
a. Diphtheria
Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan
lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria
Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan,
nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria
Laring
Pada diphtheria laring primer gejala
toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas
atas.
d. Diphtheria
Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit,
tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau
Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane.
Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak
khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan
tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan
nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar
getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003).
2.5 Patogenesis
Di alam, Corynebacterium
diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka- luka, pada
kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung
pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain
yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam
amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang
cocok.
Toksin difteri adalah
polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah,
olekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen
B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk
pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai
polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan
EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari
akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A
menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan
nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin di
fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup
dua fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi
jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri
berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap
difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi
tenggorokan.
2. Toxigenesis:
produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan
jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung
jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase
invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan
karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Di alam, Corynebacterium
diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada
kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung
pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi
timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan
tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri adalah
polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1
μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen,
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri,
tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat
pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas
faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi
polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis
reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin
difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang
mendadakBiasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan
ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan
bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan
saraf.
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada
otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama
sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung
dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk,
tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria
diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons
peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran”
yang berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap
usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan
pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan
dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Corynebacterium
diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini
diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi
parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan
adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan
kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata,
atau ekstremitas.
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu.
Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan
berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,
2003).
2.6 Komplikasi
Komplikasi bisa
dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara
timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi
sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi
Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3. Infeksi Sistemik
karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang
terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan,
dan kerusakan ginjal.
2.7 Pencegahan dan Pengobatan
1. Pencegahan
a. Isolasi
Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan
baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan
imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT
(difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian
dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila
hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka
harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan
penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin
: Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus
diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan
bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan
Penyulit
Pengobatan terutama
ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan
oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d. Pengobatan
Kontak
Pada anak yang kontak
dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu
biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa
tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan
Karier
Karier adalah mereka
yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
USAHA PD3I DIFTERI
Upaya pencegahan
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah
Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan
Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang
dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan
akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun
kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin
ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik
4. Menerapkan
sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan prioritas kegiatan
serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan
imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan
sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan
perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan
advokasi, fasilitasi dan pembinaan
Seiring dengan
ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah melakukan
serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan
pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu
KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada
waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan
karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap
tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu
diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program
BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
1. BLF
(Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif
melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran
prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak
mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi
tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas
dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini
sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan
pada suatu periode tertentu.
2. ORI
(Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan
dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit
PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15
tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB
terjadi.
Mengingat Penyakit
Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun
yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui
pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus menerus,
menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan
perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Setiap orang dapat
terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari
pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi
taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama
sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang
didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi
bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak melakukan
kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga
perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan
pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin
berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan
dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri
juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
Berdasarkan penelitian
Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPTdan DT yang tidak lengkap
beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang
status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan
beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada sumber
penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan
difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri.
Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).
Pencegahan paling
efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis
(DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaandengan tetanus
yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10
tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan
orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan mereka atau mereka
yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal
yang sama.
Selain pemberian
imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam
lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah,
selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus
bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang
bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang
lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun)
difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab
difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan
terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit
ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan toksin dan antibiotik.
Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri difteri dan
menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus tiduran di
tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin DPT
(vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk
pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 –
1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin
atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk
mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit
ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg /
kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G
harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau
kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama
14 hari.
Melihat bahayanya,
penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka
harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan
penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan
diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderit auntuk
mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan
antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum
penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu, makanan
yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang
cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa
makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang
lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat
berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias dicegah dengan cara
menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan
imunisasi.
Pengobatan khusus
penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan
antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita
difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra
muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya
sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum
dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan
adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah panas
turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari
selama 14 hari.
Penanggulangan melalui
pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana vakisin DPT adalah
vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta
bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk
pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus,
diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi
diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu
DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan
pada anak Sekolah Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil
biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri,
karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang pada apus
tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri
harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang
serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima
penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia
diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati
dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah
pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini
berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun
secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan
jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur,gagal jantung dan kematian mendadak.
c. Kerusakan
saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan,
masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi
indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis
ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu
pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba
pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena
itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya
dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
d. Difteri
hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu
pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
2.8 Determinan
Beberapa kemungkinan
faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya :
1. Cakupan
imunisasi
artinya dimana
ada bayi yang kurang bahkantidak mendapatkan imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan
statusimunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403
kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.
2. Kualitas
vaksin
Artinya pada
saat proses pemberian vaksinasi kurangmenjaga Coldcainsecara
sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Factor
lingkungan
artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat
menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria
bila ada sumber penularan.
4.
Rendehnya tingakat pengetahuan ibu
dimana
pengetahuan akan pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali
secaradini gejala-gejala penyakit difteria.
5.Akses pelayanan kesehatan yang rendah
dimana hal ini dapat dilihatdari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya di Kabupaten Sidoarjo,
berdasarkan data yang ada ada empatdesa yang belum tercapai program
imunisasinya, yakni Sekardangan,Porong, Tanggulangin dan Kedungsolo Jabon.
BAB III
PENUTUP
3.1 Keimpulan
1. Difteri
adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
2. Menurut
tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut
lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala
klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas
lebih dari 38 °C
b. Ada
psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc.
c. Sakit
waktu menelan
d. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher
5. Sumber
penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan
difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa
inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan
dengan pemberian imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi
mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak
waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat
usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga
dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari
kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi
menjadi dua yaitu Perawatan umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3
hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin
dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin,
Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
- Cakupan
imunisasi
- Kualitas
vaksin
- Lingkungan
- Rendahnya
tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
- Akses pelayanan kesehatan
yang rendah
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman
Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis
Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis
Imunisasi Tingkat Puskesmas,
2005,Jakarta
Kadun I Nyoman, 2006, Manual
Pemberantasan Penyakit Menular,
CV. Infomedika,
Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian
Difteri di
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004,
Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/
Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun
2012.
Anonim, 2003, The Complete Genome
Sequence and Analysis of Corynebacterium diphtheria NCTC
13129, www.google.com, diakses tanggal 7 Mei 2008.
Anonim, 2007, Difteri.
www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5 Januari 2008.
Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat
Dicegah dengan Imunisasi. www. dinkes.denpasarkota.go.id diakses
tanggal 7 Mei 2008.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan
salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu
kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring
(bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri
dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu
penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium
diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana
temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya menyerang
anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri
umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat
berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak –
anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak,
Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada
anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan
salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum
era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit
yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk
penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria,
Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi
difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar
tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan
ini.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas
Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3
orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan
kasus dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012
sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bakteri
apa yang menyebabkan penyakit difteri?
2. Bagaimana
tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit difteri?
3. Berapa
lama masa inkubasi penyakit difteri?
4. Bagaimana
cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
penyebab penyakit Difteri
2. Mengetahui
tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit difteri
3. Mengetahui
masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui
cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
1.4 Manfaat
Dapat
mempelajari dan mengetahui tentang penyakit difteri
Dapat
menambah pengetahuan pembaca tentang penyakit difteri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu
penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang
dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun
pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung
biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (kolonisasi) merupakan kasus terbanyak.
Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul
satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain,
bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit
difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu: type mitis,
typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium
diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif, ditandai
dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3
biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat
dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi,
atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan
mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk
menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh
bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Corynebacterium
diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya
termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium
diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Morfologi Corynebacterium
diphtheria
- Gram
(+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua
ujung badan bacteri.
- Pada
pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda
sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
- Preparat
yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya
bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang
jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel /
palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Corynebacteria
berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak berspora, tidak
bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal
diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan
Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada
perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis
dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C.
diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan
pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri
ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang
menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat
ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai
dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan
batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang
diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang
berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang
disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis
: agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling
besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit,
pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada
Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis
: koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip seperti
karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni padaMcleod’s
chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius
: koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam.
batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang &
gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu
akan membentuk endapan.
Ketiga tipe diatas
sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan
metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat
dikaitkandengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik
kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis
memiliki w
Waktu generasi (in
vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari
sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.
Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat
pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Klasifikasi
Gambar Bakteri Corynebacterium
diphtheria
|
Kerajaan :
|
|
|
Filum :
|
|
|
Ordo :
|
|
|
Famili :
|
|
|
Genus :
|
|
|
Spesies :
|
C. diphtheria
|
2.3 Cara Penularan
Sumber penularan
penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai
carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau
droplet infection.
Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa
inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khas dari penyakit ini ialah
pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang
sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih
keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di
bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan
miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri
fauncial dan faringeal (Depkes,2007).
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi
ringan
bila pseudo membran hanya terdapat
pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
b. Infeksi
sedang
bila pseudomembran telah menyerang sampai
faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
c. Infeksi
berat
bila terjadi sumbatan nafas yang berat
disertai dengan gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung)
paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga
dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien:
a.
Difteri hidung
(nasal diphtheria) bila penderita
menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 %
dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan
merupakan sumber utama penularan.
b.
Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil
dengan gejala radang
akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang
cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada
difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan
kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c.
Difteri laring (laryngo
trachealdiphtheriae)
dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak,
nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal
nafas.
d.
Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal
dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada
kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti
sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak
terasa apa apa.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi difteri
adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah
untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1. Anterior
nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit
ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2. Pharyngeal
dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi
jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka
waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai
terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati.
3. Difteri
laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri
kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina,
serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi
difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan
perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis
difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan
dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal,
sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik.
Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma
dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk
otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama
pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas
kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap
Inkubasi
Kuman difteri masuk ke
hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian
atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri
berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit
difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam,
dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium
karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap
Penyakit Dini
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu
keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap
Penyakit lanjut
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa
terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan
bernafas.
Corynebacterium
diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang
memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada
jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil
toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri
berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan timbulnya
kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan
dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan
yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan
pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.
Warna dari membran
difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini
sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran
terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh,
dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya
disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui
aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme
seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang
disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin
lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang
terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin
menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration,
oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium,
peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan
lekosit.
Kerusakan oleh toxin
pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan
saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat
menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang
belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa
setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu
dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi,
kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2
dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran
anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1
akan menderita penyakit polio.
2. Place
(Tempat)
Penyakit ini juga
dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan
kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time
(Waktu)
Penyakit difteri dapat
menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah
masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka
pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit
penyakit difteri.
2.6 Diagnosis
Pada penyakit difteri
ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberianantitoksin sangat
mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala
klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi
penyakit Difteri boleh meliputi:
a. Gram
Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium
diphtheriae.
b. Untuk
melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat
di lakuka denganElectrocardiogram (ECG).
Pengambilan smear dari
membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya.
Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick
Test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini
adalah :
1. panas
lebih dari 38°C
2. Ada psedo
membrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit
waktu menelan
4. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.
Tergantung pada
berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin
diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)
Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan
penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit
diphtheria.
a. Diphtheria
Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan
lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria
Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan,
nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria
Laring
Pada diphtheria laring primer gejala
toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas
atas.
d. Diphtheria
Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit,
tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau
Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane.
Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak
khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan
tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan
nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar
getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003).
2.5 Patogenesis
Di alam, Corynebacterium
diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka- luka, pada
kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung
pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain
yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam
amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang
cocok.
Toksin difteri adalah
polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah,
olekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen
B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk
pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai
polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan
EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari
akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A
menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan
nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin di
fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup
dua fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi
jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri
berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap
difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi
tenggorokan.
2. Toxigenesis:
produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan
jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung
jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase
invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan
karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Di alam, Corynebacterium
diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada
kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung
pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi
timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan
tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri adalah
polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1
μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen,
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri,
tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat
pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas
faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi
polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis
reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin
difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang
mendadakBiasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan
ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan
bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan
saraf.
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada
otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama
sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung
dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk,
tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria
diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons
peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran”
yang berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap
usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan
pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan
dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Corynebacterium
diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini
diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi
parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan
adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan
kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata,
atau ekstremitas.
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu.
Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan
berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,
2003).
2.6 Komplikasi
Komplikasi bisa
dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara
timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi
sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi
Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3. Infeksi Sistemik
karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang
terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan,
dan kerusakan ginjal.
2.7 Pencegahan dan Pengobatan
1. Pencegahan
a. Isolasi
Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan
baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan
imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT
(difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian
dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila
hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka
harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan
penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin
: Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus
diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan
bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan
Penyulit
Pengobatan terutama
ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan
oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d. Pengobatan
Kontak
Pada anak yang kontak
dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu
biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa
tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan
Karier
Karier adalah mereka
yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
USAHA PD3I DIFTERI
Upaya pencegahan
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah
Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan
Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang
dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan
akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun
kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin
ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik
4. Menerapkan
sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan prioritas kegiatan
serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan
imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan
sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan
perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan
advokasi, fasilitasi dan pembinaan
Seiring dengan
ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah melakukan
serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan
pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu
KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada
waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan
karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap
tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu
diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program
BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
1. BLF
(Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif
melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran
prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak
mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi
tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas
dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini
sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan
pada suatu periode tertentu.
2. ORI
(Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan
dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit
PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15
tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB
terjadi.
Mengingat Penyakit
Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun
yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui
pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus menerus,
menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan
perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Setiap orang dapat
terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari
pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi
taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama
sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang
didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi
bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak melakukan
kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga
perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan
pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin
berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan
dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri
juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
Berdasarkan penelitian
Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPTdan DT yang tidak lengkap
beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang
status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan
beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada sumber
penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan
difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri.
Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).
Pencegahan paling
efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis
(DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaandengan tetanus
yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10
tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan
orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan mereka atau mereka
yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal
yang sama.
Selain pemberian
imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam
lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah,
selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus
bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang
bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang
lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun)
difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab
difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan
terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit
ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan toksin dan antibiotik.
Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri difteri dan
menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus tiduran di
tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin DPT
(vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk
pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 –
1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin
atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk
mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit
ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg /
kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G
harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau
kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama
14 hari.
Melihat bahayanya,
penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka
harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan
penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan
diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderit auntuk
mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan
antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum
penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu, makanan
yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang
cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa
makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang
lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat
berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias dicegah dengan cara
menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan
imunisasi.
Pengobatan khusus
penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan
antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita
difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra
muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya
sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum
dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan
adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah panas
turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari
selama 14 hari.
Penanggulangan melalui
pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana vakisin DPT adalah
vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta
bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk
pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus,
diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi
diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu
DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan
pada anak Sekolah Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil
biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri,
karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang pada apus
tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri
harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang
serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima
penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia
diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati
dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah
pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini
berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun
secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan
jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur,gagal jantung dan kematian mendadak.
c. Kerusakan
saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan,
masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi
indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis
ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu
pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba
pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena
itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya
dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
d. Difteri
hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu
pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
2.8 Determinan
Beberapa kemungkinan
faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya :
1. Cakupan
imunisasi
artinya dimana
ada bayi yang kurang bahkantidak mendapatkan imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan
statusimunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403
kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.
2. Kualitas
vaksin
Artinya pada
saat proses pemberian vaksinasi kurangmenjaga Coldcainsecara
sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Factor
lingkungan
artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat
menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria
bila ada sumber penularan.
4.
Rendehnya tingakat pengetahuan ibu
dimana
pengetahuan akan pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali
secaradini gejala-gejala penyakit difteria.
5.Akses pelayanan kesehatan yang rendah
dimana hal ini dapat dilihatdari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya di Kabupaten Sidoarjo,
berdasarkan data yang ada ada empatdesa yang belum tercapai program
imunisasinya, yakni Sekardangan,Porong, Tanggulangin dan Kedungsolo Jabon.
BAB III
PENUTUP
3.1 Keimpulan
1. Difteri
adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
2. Menurut
tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut
lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala
klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas
lebih dari 38 °C
b. Ada
psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc.
c. Sakit
waktu menelan
d. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher
5. Sumber
penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan
difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa
inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan
dengan pemberian imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi
mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak
waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat
usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga
dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari
kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi
menjadi dua yaitu Perawatan umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3
hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin
dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin,
Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
- Cakupan
imunisasi
- Kualitas
vaksin
- Lingkungan
- Rendahnya
tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
- Akses pelayanan kesehatan
yang rendah
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman
Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis
Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis
Imunisasi Tingkat Puskesmas,
2005,Jakarta
Kadun I Nyoman, 2006, Manual
Pemberantasan Penyakit Menular,
CV. Infomedika,
Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian
Difteri di
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004,
Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/
Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun
2012.
Anonim, 2003, The Complete Genome
Sequence and Analysis of Corynebacterium diphtheria NCTC
13129, www.google.com, diakses tanggal 7 Mei 2008.
Anonim, 2007, Difteri.
www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5 Januari 2008.
Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat
Dicegah dengan Imunisasi. www. dinkes.denpasarkota.go.id diakses
tanggal 7 Mei 2008.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan
salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu
kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring
(bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri
dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu
penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium
diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana
temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya menyerang
anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri
umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat
berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak –
anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak,
Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada
anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan
salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum
era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit
yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk
penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria,
Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi
difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar
tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan
ini.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas
Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3
orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan
kasus dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012
sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bakteri
apa yang menyebabkan penyakit difteri?
2. Bagaimana
tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit difteri?
3. Berapa
lama masa inkubasi penyakit difteri?
4. Bagaimana
cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
penyebab penyakit Difteri
2. Mengetahui
tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit difteri
3. Mengetahui
masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui
cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
1.4 Manfaat
Dapat
mempelajari dan mengetahui tentang penyakit difteri
Dapat
menambah pengetahuan pembaca tentang penyakit difteri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu
penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang
dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun
pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung
biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (kolonisasi) merupakan kasus terbanyak.
Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul
satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain,
bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit
difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu: type mitis,
typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium
diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif, ditandai
dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3
biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat
dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi,
atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan
mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk
menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh
bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Corynebacterium
diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya
termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium
diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Morfologi Corynebacterium
diphtheria
- Gram
(+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua
ujung badan bacteri.
- Pada
pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda
sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
- Preparat
yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya
bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang
jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel /
palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Corynebacteria
berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak berspora, tidak
bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal
diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan
Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada
perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis
dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C.
diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan
pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri
ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang
menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat
ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai
dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan
batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang
diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang
berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang
disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis
: agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling
besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit,
pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada
Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis
: koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip seperti
karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni padaMcleod’s
chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius
: koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam.
batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang &
gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu
akan membentuk endapan.
Ketiga tipe diatas
sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan
metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat
dikaitkandengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik
kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis
memiliki w
Waktu generasi (in
vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari
sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.
Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat
pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Klasifikasi
Gambar Bakteri Corynebacterium
diphtheria
|
Kerajaan :
|
|
|
Filum :
|
|
|
Ordo :
|
|
|
Famili :
|
|
|
Genus :
|
|
|
Spesies :
|
C. diphtheria
|
2.3 Cara Penularan
Sumber penularan
penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai
carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau
droplet infection.
Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa
inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khas dari penyakit ini ialah
pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang
sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih
keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di
bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan
miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri
fauncial dan faringeal (Depkes,2007).
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi
ringan
bila pseudo membran hanya terdapat
pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
b. Infeksi
sedang
bila pseudomembran telah menyerang sampai
faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
c. Infeksi
berat
bila terjadi sumbatan nafas yang berat
disertai dengan gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung)
paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga
dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien:
a.
Difteri hidung
(nasal diphtheria) bila penderita
menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 %
dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan
merupakan sumber utama penularan.
b.
Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil
dengan gejala radang
akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang
cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada
difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan
kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c.
Difteri laring (laryngo
trachealdiphtheriae)
dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak,
nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal
nafas.
d.
Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal
dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada
kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti
sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak
terasa apa apa.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi difteri
adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah
untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1. Anterior
nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit
ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2. Pharyngeal
dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi
jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka
waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai
terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati.
3. Difteri
laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri
kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina,
serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi
difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan
perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis
difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan
dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal,
sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik.
Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma
dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk
otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama
pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas
kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap
Inkubasi
Kuman difteri masuk ke
hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian
atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri
berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit
difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam,
dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium
karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap
Penyakit Dini
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu
keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap
Penyakit lanjut
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa
terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan
bernafas.
Corynebacterium
diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang
memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada
jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil
toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri
berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan timbulnya
kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan
dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan
yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan
pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.
Warna dari membran
difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini
sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran
terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh,
dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya
disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui
aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme
seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang
disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin
lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang
terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin
menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration,
oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium,
peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan
lekosit.
Kerusakan oleh toxin
pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan
saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat
menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang
belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa
setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu
dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi,
kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2
dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran
anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1
akan menderita penyakit polio.
2. Place
(Tempat)
Penyakit ini juga
dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan
kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time
(Waktu)
Penyakit difteri dapat
menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah
masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka
pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit
penyakit difteri.
2.6 Diagnosis
Pada penyakit difteri
ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberianantitoksin sangat
mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala
klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi
penyakit Difteri boleh meliputi:
a. Gram
Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium
diphtheriae.
b. Untuk
melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat
di lakuka denganElectrocardiogram (ECG).
Pengambilan smear dari
membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya.
Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick
Test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini
adalah :
1. panas
lebih dari 38°C
2. Ada psedo
membrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit
waktu menelan
4. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.
Tergantung pada
berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin
diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)
Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan
penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit
diphtheria.
a. Diphtheria
Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan
lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria
Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan,
nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria
Laring
Pada diphtheria laring primer gejala
toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas
atas.
d. Diphtheria
Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit,
tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau
Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane.
Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak
khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan
tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan
nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar
getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003).
2.5 Patogenesis
Di alam, Corynebacterium
diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka- luka, pada
kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung
pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain
yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam
amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang
cocok.
Toksin difteri adalah
polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah,
olekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen
B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk
pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai
polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan
EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari
akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A
menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan
nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin di
fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup
dua fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi
jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri
berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap
difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi
tenggorokan.
2. Toxigenesis:
produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan
jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung
jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase
invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan
karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Di alam, Corynebacterium
diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada
kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri
kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai
menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung
pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi
timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan
tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri adalah
polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1
μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen,
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri,
tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat
pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas
faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi
polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis
reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin
difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang
mendadakBiasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan
ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan
bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan
saraf.
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada
otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama
sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung
dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk,
tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria
diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons
peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran”
yang berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap
usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan
pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan
dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Corynebacterium
diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini
diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi
parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan
adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan
kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata,
atau ekstremitas.
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu.
Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan
berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,
2003).
2.6 Komplikasi
Komplikasi bisa
dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara
timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi
sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi
Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3. Infeksi Sistemik
karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang
terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan,
dan kerusakan ginjal.
2.7 Pencegahan dan Pengobatan
1. Pencegahan
a. Isolasi
Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan
baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan
imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT
(difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian
dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila
hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka
harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan
penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin
: Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus
diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan
bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan
Penyulit
Pengobatan terutama
ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan
oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d. Pengobatan
Kontak
Pada anak yang kontak
dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu
biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa
tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan
Karier
Karier adalah mereka
yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
USAHA PD3I DIFTERI
Upaya pencegahan
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah
Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan
Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang
dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan
akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun
kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin
ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik
4. Menerapkan
sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan prioritas kegiatan
serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan
imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan
sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan
perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan
advokasi, fasilitasi dan pembinaan
Seiring dengan
ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah melakukan
serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan
pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu
KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada
waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan
karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap
tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu
diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program
BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
1. BLF
(Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif
melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran
prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak
mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi
tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas
dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini
sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan
pada suatu periode tertentu.
2. ORI
(Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan
dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit
PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15
tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB
terjadi.
Mengingat Penyakit
Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun
yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui
pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus menerus,
menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan
perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Setiap orang dapat
terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari
pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi
taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama
sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang
didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi
bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak melakukan
kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga
perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan
pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin
berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan
dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri
juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
Berdasarkan penelitian
Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPTdan DT yang tidak lengkap
beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang
status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan
beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada sumber
penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan
difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri.
Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).
Pencegahan paling
efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis
(DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaandengan tetanus
yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10
tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan
orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan mereka atau mereka
yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal
yang sama.
Selain pemberian
imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam
lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah,
selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus
bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang
bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang
lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun)
difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab
difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan
terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit
ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan toksin dan antibiotik.
Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri difteri dan
menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus tiduran di
tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin DPT
(vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk
pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 –
1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin
atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk
mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit
ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg /
kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G
harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau
kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama
14 hari.
Melihat bahayanya,
penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka
harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan
penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan
diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderit auntuk
mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan
antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum
penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu, makanan
yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang
cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa
makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang
lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat
berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias dicegah dengan cara
menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan
imunisasi.
Pengobatan khusus
penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan
antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita
difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra
muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya
sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum
dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan
adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah panas
turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari
selama 14 hari.
Penanggulangan melalui
pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana vakisin DPT adalah
vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta
bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk
pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus,
diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi
diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu
DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan
pada anak Sekolah Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil
biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri,
karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang pada apus
tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri
harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang
serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima
penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia
diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati
dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah
pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini
berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun
secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan
jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur,gagal jantung dan kematian mendadak.
c. Kerusakan
saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan,
masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi
indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis
ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu
pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba
pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena
itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya
dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
d. Difteri
hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu
pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
2.8 Determinan
Beberapa kemungkinan
faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya :
1. Cakupan
imunisasi
artinya dimana
ada bayi yang kurang bahkantidak mendapatkan imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan
statusimunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403
kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.
2. Kualitas
vaksin
Artinya pada
saat proses pemberian vaksinasi kurangmenjaga Coldcainsecara
sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Factor
lingkungan
artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat
menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria
bila ada sumber penularan.
4.
Rendehnya tingakat pengetahuan ibu
dimana
pengetahuan akan pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali
secaradini gejala-gejala penyakit difteria.
5.Akses pelayanan kesehatan yang rendah
dimana hal ini dapat dilihatdari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya di Kabupaten Sidoarjo,
berdasarkan data yang ada ada empatdesa yang belum tercapai program
imunisasinya, yakni Sekardangan,Porong, Tanggulangin dan Kedungsolo Jabon.
BAB III
PENUTUP
3.1 Keimpulan
1. Difteri
adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
2. Menurut
tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut
lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala
klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas
lebih dari 38 °C
b. Ada
psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc.
c. Sakit
waktu menelan
d. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher
5. Sumber
penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan
difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa
inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan
dengan pemberian imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi
mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak
waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat
usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga
dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari
kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi
menjadi dua yaitu Perawatan umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3
hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin
dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin,
Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
- Cakupan
imunisasi
- Kualitas
vaksin
- Lingkungan
- Rendahnya
tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
- Akses pelayanan kesehatan
yang rendah
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman
Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis
Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis
Imunisasi Tingkat Puskesmas,
2005,Jakarta
Kadun I Nyoman, 2006, Manual
Pemberantasan Penyakit Menular,
CV. Infomedika,
Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian
Difteri di
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004,
Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/
Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun
2012.
Anonim, 2003, The Complete Genome
Sequence and Analysis of Corynebacterium diphtheria NCTC
13129, www.google.com, diakses tanggal 7 Mei 2008.
Anonim, 2007, Difteri.
www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5 Januari 2008.
Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat
Dicegah dengan Imunisasi. www. dinkes.denpasarkota.go.id diakses
tanggal 7 Mei 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar